Sabtu, 19 April 2008

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENEGAKAN HUKUM DITINJAU DARI HUKUM PROGRESIF

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENEGAKAN HUKUM DITINJAU DARI HUKUM PROGRESIF



I. PENDAHULUAN

Indonesia yang memiliki UUD 1945 sebagai hierarki perundang-undangan yang tertinggi seharusnya dijadikan pedoman bagi pelaksanaan penegakan hokum, baik oleh legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Selain itu kita sebagai masyarakat Indonesia tidak menganggap bahwa UUD 1945 yang telah melalui empat kali amandemen, hanya sebagai sebuah aturan yang berfungsi sebgaai hafalan saja ketika kita menginjak di bangku pendidikan. Begitu juga aparat penegak hokum, dalam menerapkan wewenangnya, juga harus memperhatikan apa yang telah tertuang dalam UUD 1945.

Dalam UUD 1945 diterangkan bahwa Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hokum (rechstaat) dan Negara Indonesia berdasarkan atas hokum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat)[1]. Hal ini berarti bahwa Negara Indonesia menjunjung tinggi hokum bukan menjunjung tinggi kekuasaan, dimana dalam menerapkan hokum, Indonesia harus memandang semua subjek hokum adalah sama, tidak memandang itu pejabat, orang terkenal atau orang minoritas yang termarginalkan.

Dalam era pembangunan di Indonesia saat ini, terjadi sebuah tindak pidana yang dianggap sebagai sebuah penyakit yang telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Tidak hanya di kalangan pejabat saja tetapi juga kalangan masyarakat biasa bahkan aparat penegak hukumnya. Hal ini adalah masalah korupsi yang cukup fenomenal di tengah pembangunan Indonesia yang tengah terpuruk dalam pembangunan dewasa ini. Tndak pidana ini dianggap tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga merugikan dan meresahkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang telah tertuang dalam Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, korupsi tidak mencerminkan apa yang terkandung secara luhur dalam sila kelima Pancasila tersebut.

Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak ditemui tindakan-tindakan yang merupakan sebuah tindak pidana korupsi, seperti ketika kita melanggar lalu lintas dengan dalih sidang di tempat, kita membayar sejumlah uang kepada aparat, atau ketika kita akan membuat SIM atau KTP, kita membayar lebih kepada aparat dengan dalih pembuatannya dapat menjadi cepat. Kedua hal itu merupakan contoh kecil yang berkembang di masyarakat. Hal yang terjadi dalam pemerintah seperti korupsi yang dilakukan Akbar Tanjung, Probo Soetedjo, dan lain-lain.

Tindak pidana korupsi terlihat seperti sebuah kejahatan yang bersifat seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, dimana tidak hanya dilakukan oleh kalangan atas, tetapi juga kalangan bawah. Tidak hanya dalam ursan pemerintahan, keuangan Negara, hak asasi, ideologi, perekonomian, maupun moral bangsa. Dengan adanya bahaya seperti itu, diharapkan penegak hokum dapat menjalankan wewenangnya sebagaimana mestinya tidak hanya melihat dari kekuasaan sang pelaku tetapi juga dapat menjadikan hokum itu sebagai sebuah efek penjeraan bagi pelaku yang melakukan secara dolus ataupun culpa. Mengingat tindak pidana korupsi ini sudah terlalu canggih dalam menyembunyikan hasil kekayaannya. Sementara dalam penegakannya terlihat bahwa sebuah tindak pidana korupsi menyatakan bahwa tidak sedikit pelaku yang divonis bebas, akan tetapi juga menerima hukuman yang sangat ringan. Padahal hal ini tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.

Oleh karena itu peran serta masarakat dan perhatian yang serius dari pemerintah melalui kebijakan politiknya sangat diperlukan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Serta dalam menegakkan hukumnya kita harus memandang hokum tidak hanya berdasarkan pada rule tetapi juga behavior[2].

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dewasa ini?

2. Bagaimana pandangan hukum progresif dalam menyikapi tindak pidana korupsi di Indonesia dewasa ini?

III. ANALISIS

A. PENEGAKAN HUKUM

Sejak lahirnya Undang-Undang No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diundangkannya undang-undang pengganti yakni Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 pada tanggal 29 Maret 1971. Baik pada waktu berlakunya kedua Undang-Undang tersebut, dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut aparat pnegak hukumnya, kedua Undang-Undang tersebut tidak sempurna, tidak sesuai dengan perkembangan zaman lagi, padahal Undang-Undang seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi. Namun dalam membuat sebuah peraturan perundang-undangan, lagi-lagi diadakan sebuah tindak pidana korupsi di tingkat legislative, baik dari segi waktu maupun keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh ketika mereka melakukan rapat. Dan apa yanh dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja tidak melindungi kaum masyarakat. Dengan dalih Undang-Undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, kenapa tidak dibuat sebuah peraturan yang efektif dan bertindak secara tegas dalam memberantas tindak pidana korupsi? Bukan hanya sekedar duduk-duduk saja dalam parlemen tetapi berpikir bagaimana penegakan hokum atas peraturan perundang-undangan yang akan diberlakukan atas tindak pidan korupsi.

Menyikapi hal seperti itu dalam tahun 1999 yang lalu diundangkanlah undang-undang yang dianggap lebih baik, yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Kemudian pada tanggal 27 Desember 2002 telah dikeluarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni sebuah lembaganegara indipenden yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia[3].

Hal ini berarti dengan dikeluarkannya udang-undang yang dianggap lebih sempurna, maka diharapkan aparat penegak hukumnyapun juga sempurna. Akan tetapi yang terjadi adalah budaya suap yang telah menggerogoti kinerja aparat penegak hokum dalam melakukan penegakn hokum sebagai pelaksana dai produk hokum di Indonesia. Bagaiamana bisa secara tegas dianggap sebagai hal yang sempurna sementara yang terjadi adalah ketidaksesuaian antara aparat penegak hokum dengan produk hokum yang mengatur sebuah tindak pidana korupsi. Karena hal ini dilakukan sebagai kekuatan politik yang melindungi pejabat-pejabat Negara. Sejak dikeluakannya Undang-Undang Tahun 1960 gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggar Negara terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan penegakan hokum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan[4].

Dengan hal yang demikian, berarti telah terjadi feodalisme hokum secara sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak sekali penegak hokum dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat tinggi yang korup. Dalam domein logos, pejabat tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada domein teknologos, hokum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti[5].

Sementara menurut pendapat Klitgaar, Hamzah, Lopa, BPKP, World Bank, menyatakan bahwa penyebab korupsi adalah sebagai berikut[6]. Deskresi pegawai publik yang terlalu besar, rendahnya akuntabilitas public, lemahnya kepemimpinan, gaji pegawai yang di bawah kebutuhan hidup, kemiskinan, moral rendah, atau disiplin rendah, konsumtif, pengawasan dalam organisasi rendah, atasan memberi contoh, kesempatan yang tersedia, pengawasan ekstern lemah, lembaga legislatif lemah, budaya memberi upeti, permisif, tidak mau tahu, keserakahan, lemahnnya penegakan hokum, probabilitas ditangkap dan dihukum, konsekuensi biaya akibat ditangkap dan dihukum lebih rendah dari keuntungan yang diperoleh, orang ang di tempat “basah” mesti menghidupi pegawai di atasnya atau di bawahnya, korupsi untuk cost of recovery, lingkungan tidak kondusif, para pegawai mesti menjadi sumber dana organisasi, kondisi masyarakat yang lemah tidak terorganisasi untuk melawan korupsi.

Dari berbagai hal itulah dapat kita lihat secara jelas, bahwa penegakan hokum dalam memberantas tindak pidana korupsi tidak hanya didasarkan atas ketidaksempurnaan atas Undang-Undang atau produk hokum yang lain, tetapi juga moral dari pelaku, kinerja aparat penegak hokum, maupun budaya yang telah mengakar daging sejak zaman feudal. Dengn ini berarti bahwa Indonesia tidak lagi dijajah oleh pihak asing tetapi oleh bangsanya sendiri yang sudah tidak menjunjung tinggi kepribadian bangsa tetapi bergelut dengan kehidupan yang seharusnya tidak digunakan untuk memperkaya diri sendir tetapi juga harus melihat kondisi sosial di sekitarnya.

B. HUKUM PROGRESIF BERBICARA

Seperti yang telah kita tahu beberapa waktu ini, telah muncul isu tentang HUKUM PROGRESIF yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. Dengan hokum progresif sebagaimana hasil wawancara[7] dengan beliau, yang mengatakan bahwa hokum pogresif lahir akibat dari banyaknya kritikan terhadap kinerja aparat hokum yang sudah tidak lagi mencerminkan sesuai dengan fungsinya. Karena hokum dibuat bukan hanya sebagai ruke tetapi sebagai behavior. Sehingga hokum dibuat dan dilaksanakan dengan melibatkan factor manusia. Yang harus diperhatikan di sini adalah sebuah sikap akan empati, kepedulian, kejujuran maupun keberanian atas penegakan hokum yang ada. Sikap ini lahir dari sebuah pernyataan seorang Jaksa Agung yang menyatakan bahwa penegakan hokum tidak membutuhkn keberanian. Hal ini cenderung salah dan megakibatkan lemahnya penegakan hokum di Indonesia. Membaca sebuah peraturan itu dicari maknanya bukan mengeja perkata. Hukum itu dibuat untuk manusia bukan yang sebaliknya, karena hokum diciptakan untuk mengatur tingkah laku manusia agar tercipta keadilan sebagaimana sesuai deng tujuan huku itu sendiri. Sedangkan dalam kepastian hokum yang mana menjadi panduan utama bagi lairan hokum positivisme, juga sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Karena tidak ada kepastian hokum yang absolut. Dan hal ini disebabkan sebagai terjadi ketidakmengertian tentang kepastian hokum itu.

Sementara itu, dalam memberantas sebuah tindak pidana korupsi, diharuskan bersikap dan berpikir yang luar biasa. Karena dengan adanya perubahan tersebut, tidak hanya bagi aparat penegak hokum, pelaku, maupun legislatif, dapat menekan adanya tindak pidana korupsi. Semntara komunitas hokum manapun adalah komunitas yang anti-perubahan. Sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno bahwa kita tidak bisa berevolusi bersama para ahli hokum (met juristen kan men geen revolutie maken[8]. Selain itu para aparat penegak hokum masih berpikir dan bertindak secara klasik, bersikap submisif terhadap hokum positif bahkan tidak berani untuk bertindak rule breaking. Dari sinilah dapat diketahui bahwa tidak hanya aturan-aturan saja yang sempurna dalam penegakan hokum korupsi, akan tetapi juga aparat penegak hukumnya. Yang mana para aparat penegak hokum korupsi tersebut dilahirkan dari fakultas-fakultas hokum, yang seharusnya berpikir bahwa hokum dibuat untuk ditegakkan bukan untuk disimpangi demi tercapinya sebuah keadilan yang tidak hanya melindungi kaum minoritas penguasa, juga melindungi seluruh kepentingan.

Pada sebuah harian surat kabar Kedaulatan Rakyat, tertuang sebuah analisis dariAchiel Suyanto, Enaknya Koruptor di Negeri in[9]i. Menyebutkan bahwa sevagaimana yang dikemukakan oleh Ketua Tim Pembuatan draft RUU Tindak Pidana Korupsi, mengusulkan jika tim ini akan menghapus ancaman hukuman mati mnjadi hukuman seumur hidup dan 20 tahun pnjara bagi para koruptor (penilep uang Negara). Dengan alasan bahwa hukuman mati maupun seumur hidup memiliki efek yang sama beratnya, dan tidak ada orang yang mau dihukum mati. Padahal sejarah membuktikan bahwa tidak ada koruptor yang dihukum mati. Dari sini terjadi indikasi bahwa penegakan hokum dalam memberantas korupsi mengalami kegagalan. Tidak terjadi sebuah fek penjeraan bagi pelaku yang jelas-jelas mrugikan keuangan Negara. Selain itu terjadi perubahan bahwa tidak akan ada penjatuhan pidana secara khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Dalam SKH yang sama terdapat pemberitaan bahwa Advokat Senior Dilaporkan ke KPK[10] karena dinilai hambat pemberantasan korupsi DPT Ketua DPRD Kota Yogyakarta yang telah divonis 4 tahun dan denda Rp. 200 juta rupiah. Karena dalam kasus tersebut, advokat dari Ketua DPRD Kota Yogyakarta tersebut berargumen bahwa lingkup hokum terebut bukan merupakan pidana namun administrasi, serta mengkriminalkan seorang anggota dewan, berarti sama dengan menjatuhkan sebuah politik. Dari sini kita juga bisa melihat bahwa seorang advokat yang seharusnya membantu kliennya untuk mengerti akan permasalahan hokum yang dihadapi yang terjadi adalah bahwa sang advokat membuat agar kliennya memiliki rasa ketergantungan terhadap advokat tersebut. Selain itu dinilai bahawa seorang yang lahir dari Fakultas Hukum hanya memikirkan kepentingan golongan bukan mementingkan kepentingan yang bersifat sosial. Yang mana kepentingan tersebut lebih utama daripada golongan. Lagi-lagi dalam korupsi yang jelas-jelas merugikan keuangan Negara yang pada awalnya digunakan untu keadilan sosial.

Dalam sikap hokum progresif juga dikenal dengan adanya istilah orde hokum antikorupsi[11]. Sekalipun ada Undang-Undang Tipikor maupun KPK, tidak dapat memberantas tindak pidana korupsi, karena memerangi korupsi diharapkan memberi sumbangan terhadap pemberantasan korupsi dengan menyentuh titik strategis. Karena Undang-Undang yang selama ini kita ketahui, dapat dimasukkan perbuatan yang mengancam dan mencederai jesejahteraan rakyat (bedreiging en aantasting van het welzijn van de bevolking)[12]. Mengacu prognosis korupsi yang dikemukakan Syed Hussein Alatas (1968)[13] penyakit korupsi melalui tiga tahap: (1) terbatas, (2) meluas, (3)menghancurkan masyarakat di mana para koruptor ada di dalamnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi yang meluas dikatakan sebaga extra-ordinary crime. Sementara yang kita butuhkan saat ini adalah munculnya seorang yang mampu mencerminkan hokum yang progresif yang dapat mengatasi kegagalan pemberantasan tindak pidana korupsi.

IV. PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Bahwa kegagalan akan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya didasarkan atas ketidaksempurnaan Undang-Undang yang dibuat akan tetapi juga ketidaksempurnaan akan aparat penegak hukumnya, masyarakat, serta lembaga legislatif yang meracang penyusunan Undang-Undang tersebut. Sementara Undang-Undang yang ada tidak dijalankan secara maksimal karena adanya budaya yang masih mencerminkan budaya feudal, yang mana hanya melindungi kepentingan minoritas penguasa saja.

2. Bahwa kita harus berpikir maju atau secara progresif yang mana dalam melakukan penegakan hokum, tidak hanya didasarkan atas rule saja tetapi juga didasarkan atas behavior manusianya. Dan dari situlah maka penegakan hokum dapat ditegakkan. Tidak hanya bersandar pada aliran posivisme yang kita anut dalam Negara kita.

B. SARAN

1. Setidaknya ada pembenahan bagi aparat penegak hokum dengan mningkatkan mutu dan kualitas mereka, serta mampu berdisiplin dan juga didukung oleh gaji yang memadai kebutuhan hidup.

2. Meningkatkan peran manusia yang sesuai dengan perannya masing-masing. Terutam bagi para penegak hokum. Dengan memperhatikan empati, kepedulian, kejujuran dan keberanian. Karena hokum dibuat untuk manusia agar tercapai nilai-nilai keadilan.

3. Terdapat kurikulum dalam institusi perkuliahan bahwa kecenderungan kita dalam mengikuti perkuliahan hanya diajarkan bagaimana undang-undang itu ada dan dilaksanakan tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya. Di samping itu mendidik agar para sarjana hokum bersikap berani dalam menentukan sikap agar tercapai keaddilan bukan menghancurkan keadilan.

V. DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Matriil dan Formil Korupsi di Indonesia,

Bayumedia, Malang, 2005

Hartanti, Evi,Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

Rahardjo, Satjipto,Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006

SKH Kedaulatan Rakyat, Enaknya Koruptor di Negeri Ini, Kamis 22 Februari 2007

UUD 1945

Wawancara Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Jumat 16 Februari 2007, tentang Hukum

Progresif



[1] UUD 1945

[2] Wawancara Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Jumat 16 Februari 2007, tentang Hukum Progresif

[3] Drs Adami Chazawi, SH, Hukum Pidana Matriil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia, Malang, 2005, hal.8

[4] Ibid., hal.9

[5] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.3

[6] Ibid., hal 21

[7] Wawancara Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Jumat 16 Februari 2007, tentang Hukum Progresif

[8] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006, hal.129

[9] SKH Kedaulatan Rakyat, Enaknya Koruptor di Negeri Ini, Kamis 22 Februari 2007, hal.1

[10] Ibid.,

[11] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, op.cit, hal.135

[12] Ibid., hal 138

[13] Ibid., hal.141

Tidak ada komentar: