Minggu, 07 September 2008

KONFIGURASI POLITIK DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI 2004-2009

Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-63, kemarin di depan sidang Paripurna DPR, menuai kritik. Salah satu yang banyak disorot adalah soal pemberantasan korupsi. Pencapaian pemberantasan korupsi dinilai belum maksimal. Pemberantasan korupsi selama ini belum menyentuh pejabat berkuasa. Hal itu bisa dilihat dalam kasus aliran dana Bank Indonesia (BI). Upaya pencegahan korupsi masih jalan di tempat. Rencana fundamental seperti mereformasi birokrasi, serta reformasi lembaga penegakan hukum termasuk peradilan, kejaksaan, dan kepolisian belum sepenuhnya berhasil diwujudkan.[1]
Banyak sekali kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, di antaranya adalah kasus mantan presiden Alm. Soeharto yang diduga dilakukan di tujuh yayasan, dugaan kasus korupsi dalam Technical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT. Ustaindo Petro Gas[2], dan yang paling gencar dibicarakan di media adalah kasus Bank Indonesia yang melibatkan beberapa anggota DPR, serta kasus Arthalita (Ayin) dengan Jaksa Urip. Lebih jauh ke daerah tingkat II adalah kasus yang melibatkan seorang Bupati dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur terkait dengan pembangunan bandara, maupun sekda Bintan, Azirwan.
Dari beberapa kasus di atas, terlihat jelas keterlibatan antara elit politik yang sarat dengan kekuasaan dengan tindak pidana korupsi. Sehingga dibutuhkan tindakan tegas dari pemerintah untuk memberantas praktek yang juga terjadi di beberapa negara ini, dan melibatkan Indonesia ke dalam jajaran negara terkorup dunia. Berbagai aturan hukum yang sejak diproses dari badan legislatif hingga tahap implementasi yang dilakukan oleh jajaran aparat penegak hukum, dinilai belum menunjukkan hasil yang maksimal. Hal ini memperlihatkan bahwa kinerja aparat dalam memberantas korupsi masih setengah-setengah, seperti yang terjadi pada era orde lama hingga orde baru.
Pada era orde lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi. Adapun perangkat hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Keadaan Bahaya dengan produknya yang diberi nama PARAN (Panitia Retoolig Aparatur Negara), yang mana di kemudian dikenal dengan nama Operasi Budhi dengan sasaran perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga Negara., dimana pada saat itu pelaku korupsi menghindari pemeriksaan dengan menggunakan kekuasaannya.
[3]
Samentara pada era orde baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) oleh Soeharto yang bertekad untuk membasmi korupsi hingga ke akar-akarnya. Akan tetapi ketika tim tersebut menemukan dugaan korupsi di Pertamina, hal tersebut tidak direspon oleh pemerintah. Hingga saat dimana Presiden Soeharto lengser, kasus korupsi yang melibatkan penguasa masih merajalela.
[4]
Dari dua era kepemimpinan itulah berangkat apa yang dinamakan konfigurasi politik dalam pemberantasan korupsi, dan tidak ada salahnya mengutip bahwa “Hukum merupakan produk politik” oleh Moh. Mahfud MD.[5]
Dulu rakyat mendukung reformasi karena para pejuangnya telah menawarkan konsep-konsep yang dianggap layak untuk membasmi KKN dengan penegakan hukum yang tegas. Namun, nyatanya hingga saat ini hukum tak kunjung dapat ditegakkan.
[6] Korupsi-korupsi baru bermunculan sehingga banyak anggota lembaga perwakilan rakyat dan pejabat dijatuhi hukuman karena korupsi. Akan tetapi, jauh lebih banyak kasus korupsi yang tak selesai dan menguap di tengah pengusutan. Puluhan ribu kasus korupsi dilaporkan ke Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, tetapi yang diproses ke pengadilan dan divonis hanya beberapa.[7]
Terkait dengan pemberantasan korupsi, Mahfud MD mengatakan bahwa Indonesia hancur karena korupsi, korupsi subur karena peradilan korup, dan dunia peradilan sulit dibersihkan tanpa cara luar biasa. Bagaimana tidak, sekarang ini banyak aparat penegak hukum di daerah-daerah telah menjadikan instruksi memburu koruptor sebagai ATM atau alat penarik uang baru yang efektif. Banyak aparat penegak hukum yang kemudian memeras para pejabat di daerah dengan cara mengancam akan diproses hukum karena dugaan korupsi.[8]
[1] http://www.ti.or.id/news/8/tahun/2008/bulan/08/tanggal/16/id/3323/, diakses pada tanggal 19 Agustus 2008 14:17.
[2] http://kamushukum.com/en/kasus-kasus-korupsi-di-indonesia/, diakses pada tanggal 19 Agustus 2008 17:09.
[3] Agus Suradika, “Relasi Korupsi dan Kekuasaan: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya”, http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/Agus%20Suradika-Korupsi%20dan%20Kekuasaan.pdf, diakses pada tanggal 20 Agustus 2008 jam 11:28
Pada saat itu, kasus korupsi ditujukan kepada Dirut Pertamina serta jajaran direksi lainnya. Untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas keluar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalaih belum mendapat izin dari atasan.
[4] Ibid.,
[5] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Ctk.Ketiga, LP3ES, Jakarta, 2006, Hlm.7. Lihat juga pada Fakultas Hukum UII, Hukum dan Kekuasaan, Cetakan I, Fakultas Hukum, Yogyakarta, 1998, Hlm.48
[6] Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hlm.75
[7] Ibid, Hlm.121
Sementara itu pada buku yang sama dikemukakakan bahwa kasus dugaan korupsi di Indonesia jumlahnya mencapai puluhan ribu, yang sekaran masuk ke KPK saja sudah lebih dari 5.200 kasus, namun dari 5.200 kasus tersebut pada tahun 2005 hanya ditargetkan selesai 25 kasus.
[8] Ibid, Hlm.157
A. PENGERTIAN KONFIGURASI POLITIK
Konfigurasi politik dapat diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis
[1] dan konfigurasi politik otoriter[2]. Pada konfigurasi demokratis, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional. Kehidupan pers relatif bebas, sedangkan peranan lembaga eksekutif (pemerintah) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat. Sementara pada konfigurasi politik otoriter yang terjadi adalah sebaliknya[3] Selain itu kita juga dapat melihat karakter produk hukumnya, yakni yang produk hukum responsif/populistik[4] dan produk hukum konservatif/ortodoks/elitis[5].
Hubungan antara hukum dan politik, yang menemukan ekspresinya danjuga perbedaannya dalam interdependensi hukum dan keadilan, menciptakan problem kekuasaan. Kekuasaan sangat penting bagi setiap tatanan hukum dan masyarakat. Sebuah tatanan tidak dapat difungsikan tanpa adanya kekuasaan.
[6] Aspek rasional dari problema kekuasaan seringkali diabaikan, khususnya di kalangan positivis dan karenanya menganut pandangan bahwa tidaklah mustahil untuk melandaskan hukum pada sebuah tindakan kehendak semata. Hasil atau konsekuensi semacam ini terbukti sangat membahayakan.[7] Hal inilah yang menyebabkan pengaruh kekuasaan dengan maraknya kasus korupsi di Indonesia, dimana kekuasaan juga mempengaruhi keefektifan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Penyebab terjadinya kasus korupsi di Indonesia ini adalah:
[8]
1. Meluasnya praktek korupsi adalah karena mengabaikan adanya konflik kepentingan. Tidak ada pemisahan yang tegas anatara lembaga eksekutif dan yudiatif lebih-lebih dalam arti penunjukkan pejabat yudikatif. Dalam arti tertentu prerogatif presiden dalam penunjukkan jaksa adalah akumulasi kekuasan dan yang memiliki implikasi konflik kepentingan;
2. Konsentrasi kekuasaan dan tidak efektifnya control. Konsentrasi kekuasaan ini sangat kuat pada tingkat puncak hirarki kekuasaan;
3. Pengambilan keputusan yang ternyata tidak hanya dilakukan oleh pejabat yangberwenang. Yang sebenarnya terjadi banyak keputusan melalui prosedur negosiasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan pihak-pihak yang terkait dengan bidang sosial-akonomi; dan
4. Kebutuhan partai-partai politik untuk mendanai pemilu.
B. PENGERTIAN KORUPSI
Korupsi merupakan hal yang telah mebahayakan moralitas penduduk Indonesia, dan menggerogoti kesejahteraan rakyat dan menghambat pelaksanaan pembangunan nasional, merusak citra aparatur negara yang bersih dan berwibawa, mengabaikan moral dan merusak citra dan kualitas manusia dan lingkungannya yang pada akhirnya akan menuju pada hancurnya suatu negara.
[9] Kata atau istilah korupsi ini sebenarnya berasal dari bahasa latin “corruptio” dari kata kerja “corrumpere” yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Sementara korupsi dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dalam bahsa Perancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah corruptie.[10] Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.[11] Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahpemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.[12]
Korupsi juga dapat didefinisikan sebagai perialku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.[13]
C. PENEGAKAN HUKUM DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA PADA PEMERINTAHAN PERIODE 2004-2009
Berkaitan dengan hal-hal di atas, maka tidak ada salahnya kita berangkat dari awal kemerdekaan, dimana sejak Indonesia merdeka sekitar tahun 1945-1950-an belum dikenal istilah korupsi. Namun hal ini bukan berarti bahwa pada waktu itu tidak ada korupsi. Usaha-usaha Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana korupsi, sebenarnya diawali sejak tahun 1957, dimana Negara Indonesia saat itu sedang dalam keadaan darurat perang (PP No. 225 Tahun 1957).
[14] Istilah korupsi sendiri, secara yuridis baru dikenal sekitar tahun 1957, bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957, yang dikenal dengan peraturan tentang pemberantasan korupsi. Peraturan tersebut diharapkan memberantas korupsi, karena KUHP sudah tidak mampu lagi menanggulangi meluasnya tindak pidana korupsi saat itu. Peraturan tersebut, dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 mengenai pemilikan harta benda dan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/011/1957 mengenai penyitaan dan perampasan barang. Kemudian pada tahun 1958 dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang No. PRT/PEPERPU/013/1958 yang dimaksudkan untuk memberantas tindak pidana korupsi pada tahun itu.[15]
Kemudian pada tahun 1960 peraturan tersebut menjadi tidak berlaku dan diganti dengan PERPU No. 24 tahun 1960 yang pada awalnya dikeluarkan dalam keadaan mendesak dan tanpa perstujuan DPR waktu itu. Namun dalam kenyataannya PERPU No. 24 tahun 1960 ini, dengan undang-undang No. 61 tahun 1961 ditetapkan oleh pemerintah sebagai undang-udanng, dalam arti DPR telah menyetujui dan mengesahkannya menjadi undang-undang No. 24/Prp/1960, tanggal 9 Juni 1960, tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Setelah itu pada tahun 1971 lahirlah UU No. 3 tahun 1971, tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi.
[16]
Dalam praktek penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia ini tidak berhenti setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut, namun pemerintah masih terus mengadakan tindakan-tindakan guna mencegah meluasnya tindak pidana korupsi hingga pada akhirnya lahirlah UU No. 31 tahun 1999 diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 yang menggantikan UU No. 3 tahun 1971.
Terlepas dari itu semua, maka tidak ada salahnya kita berasumsi bahwa lahirnya berbagai undang-undang yang mengatur pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi ini dpengaruhi oleh kondisi politik saat masing-masing undang-undang itu lahir. Sebagaimana yang telah diugkapkan bahwa pengaruh politik sangat mempengaruhi lahirnya produk hukum. Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui tolak-tarik antara yang demokratis dan otoritarian, sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dalam tolak-tarik antara yang responsif dan yang koservatif. Sementara itu, untuk membangun tertib tata hukum dan meminimalisasikan pengaruh politik “judicial review” sebenarnya dapat dijadikan alat kontrol yang baik. Otonomi hukum di Indonesia cenderung lemah terutama jika berhadapan dengan subsistem politik. Struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik yang ditandai dengan keberhasilan pembuatan kodifikasi dan unifikasi berbagai bidang hukum tetapi pelaksanaan fungsi atau penegakan fungsi hukum cenderung semakin lemah. Ketidaksinkronan pertumbuhan antara fungsi dan struktur hukum itu disebabkan oleh terjadinya gangguan oleh tindakan-tindakan politik terhadap upaya penegakan fungsi hukum tersebut.
[17]
Dalam realitasnya hukum lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Kalimat-kalimat yang ada dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. Dalam kenyataan terlihat bahwa politik sangat menentukan bekerjanya hukum. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada dalam posisi yang lemah.[18] Pembentukan dan perkembangan legislasi di bidang hukum pidana tidak terstruktur dalam suatu sistem hukum pidana yang baik yang menyebabkan terjadinya problem hukum yang berkepanjangan.[19] Selain itu, hukum adalah perwujudan dari kebijakan publik yang dipengaruhi oleh isu-isu politik, dan kondisi perubahan politik itu sangat mempengaruhi perbuatan kebijakan publik[20] dan hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan.[21]
Hal-hal tersebut dapat dilihat dalam kenyataan saat-saat ini. salah satu jenis korupsi yang paling sering dilakukan dan beberapa waktu lalu marak kasus-kasusnya di berbagai media adalah korupsi yang bernuansa politis. Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus[22] membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.[23] dari besarnya kekuasaan dapa dilihat bahwa korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi. Lord Acton dengan adagiumnya yang terkenal, menyatakan: Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely. Hal ini berarti bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.[24]
Dari situlah kita bisa melihat adanya sebuah bingkai pandangan tentang hukum dan kekuasaan. Sebenarnya pandangan tentang hubungan hukum dan kekuasaan itu tidaklah tunggal. Antara kaum idealis yang berorientasi pad adas sollen dank aim empiris yang lebih melihat hukum sebagi das sein, memberikan pandangan yang berbeda. Seharusnya hukum itu supreme atas kekuasaan. Roscoe Pound mengatakan bahwa “law as tool of social engineering”, maka kita akan melihat bahwa hukum harus mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk sub sistem politiknya. Tetapi ketika kita mengacu Von Savigny yag mengatakan bahwa “Hukum berubah manakala masyarakatnya berubah”, maka dimaksudkan agar hukum harus mampu mengikuti perkembangan dan memenuhi tuntutan masyarakat sbenarnya implisit di dalamnya bahwa hukum itu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luarnya termasuk oleh sub sistem politiknya. Kenyataan-kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa hukum seringkali tidak memiliki otonomi yang kuat, karena energinya lebih lemah dari energi sub sistem politik, sehingga yang dapat diilihat bukan saja materi hukum itu yang sarat dengan cermin konfigurasi kekuasaan melainkan juga penegakannya kerapkali diintervensi oleh kekuasaan.[25]
Dalam abad ke-19, ajaran bahwa hukum tiudak lain daripada kekuasaan banyak mempunyai pengikut. Lassale dalam pidatonya: “Uber Verfassungswesen”, mengemukakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara.[26] Gumplowicz mengutarakan teori, bahwa negara tak lain daripada “eine organization der Herrschaft einer Minoritat uber eine Majoritat”, yang berarti bahwa hukum bersandar pada penaklukan yang lemah oleh yang lebih kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya.[27] Prof. Arief Budiman mengatakan bahwa, “Paradigma hukum mungkin bisa berubah-ubah, tetapi hukum tetap merupakan permainan dari kepentingan kelompok.”[28]
Terkait dengan hubungan antara konfigurasi politik dengan pemberantasan korupsi, terutama yang terjadi dalam periode tahun 2004-2009 maka dapat dicari mengenai karakter pemerintahan yang terjadi pada periode tersebut. Banyaknya pejabat yang ditangkap dengan tuduhan praktek korupsinya mencerminkan adanya progress dari era kepemimpinan SBY, sekalipun juga tidak sedikit aparat penegak hukum yang terlibat dengan praktek yang menempatkan Indonesia dalam jajaran salah satu Negara terkorup di dunia ini. Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh ada tidaknya dukungan politik penguasa. Dukungan politik dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan, yang kesemua itu bermuara pada ruang, keadaan, dan situasi yang mendukung program pemberantasan korupsi untuk bekerja lebih efektif. Disisi lain adanya dukungan politik penguasa dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memberantas kourpsi. Oleh karenanya menempatkan posisi politik dalam program pemberantasan korupsi berarti melihat perilaku korupsi sebagai musuh bersama karena pelaku, dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan sudah membahayakan kehidupan negara. Sistem politik yang dijalankan sangat mempengaruhi dilakukannya penanggulangan korupsi, sebab korupsi bukan sekedar gejala hukum melainkan merupakan bagian dari sistem politik, karena itu tidak mungkin melepaskan usaha pemberantasan korupsi dari penataan sistem politik yang berkaitan dengan politik hukum.[29]
Di sisi lain, menurut Mahfud MD, korupsi sulit diberantas karena birokrasi penegeka hukum kita adalah birokrasi lama yang mewarisi penyakit korupsi sangat kronis. Lembaga penegak hukum yang seharusnya menangani korupsi justru dibelit oleh korupsi, birokrasi pemerintahan adalah birokrasi lama yang tetap melaksanakan prosedur-prosedur lama dan pejabat-pejabat lama yang mewarisi korupsi.
[30]
Perilaku KPK[31] yang pada beberapa waktu lalu menindak pelaku korupsi di DPR, menimbulkan keinginan dari KPK untuk turut memantau pembahasan RAPBN dari awal hingga akhir. Pemaknaan tersebut dilihat dalam konteks kedudukan DPR sebagai lembaga terhormat yang telah dinodai oleh perilaku korupsi anggotanya. KPK curiga dengan DPR/Pemerintah yang kerap melakukan politik transaksional dan memanfaatkan kekuasaan sebagai peluang melakukan korupsi. Sikap mencurigai kekuasaan KPK ini sebenarnya bertitik tolak pada awal pikiran tria politica Montesquieu, diaman saat itu beliau gundah akan tatanan penyelengaraan Negara di bawah monarki yang korup. Oleh karena itu, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dipisahkan satu dengan yang lainnya.[32]
Lebih lanjut, salah satu yang dilakukan pemerintah setelah era reformasi (1998-sekarang) terhadap pemberantasan korupsi menampakkan sebuah keadaan serius yang berdampak besar bagi setiap kebijakan hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Sekalipun sebagaimana yang telah diungkapkan di atas banyak juga aparat yang terlibat sebagai pelaku korupsi.[33] Salah satu dampak yang telah teruji kebenarannya adalah kebijakan hukum dan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.[34] Refleksi gerakan pemberantasan korupsi ini sarat dengan tujuan memberikan penjeraan dengan penjatahan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi disertai keinginan keras untuk sebesar-besarnya memberikan kemanfaatan bagi pengembalian keuangan negara yang telah diambil pelakunya.
Tujuan dimaksud tampak nyata secara normatif dalam empat langkah perubahan ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (1971-2001), antara lain, ancaman hukuman ditetapkan minimum khusus dan pemberatan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman pidana pokok, terutama terhadap pelaku penyelenggara negara dan penegak hukum. Selain itu, kerugian (keuangan) negara telah ditetapkan menjadi salah satu unsur penentu ada-tidaknya suatu tindak pidana korupsi.
[35]
Pola kebijakan legislasi tersebut secara nyata menampakkan filsafat kantianisme di satu sisi dan filsafat utilitarianisme di sisi lainnya; dua pandangan filsafat yang berbeda mendasar dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sejak ditemukannya pada Juni 1945. Namun, kebijakan legislasi pemberantasan korupsi tersebut secara normatif telah dilaksanakan tanpa hambatan-hambatan berarti sampai saat ini. Kendala serius yang menghadang kebijakan legislasi tersebut justru terletak pada faktor-faktor nonhukum dan pola penegakan hukum yang belum secara maksimal diharapkan dapat menimbulkan harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[36]
Sebagai penutup, tidak ada salahnya mengutip pernyataan Socrates ketika berada di muka pengadilan, "Tuan-tuan, kekuasaan tuan-tuan dapat membuat hukum semau-maunya. Tetapi kekuasaan tuan-tuan pada akhirnya akan dapat dikalahkan perasaan keadilan dari rakyat yang tidak dapat dimatikan atau ditindas. Lama setelah saya mati nanti, tuan-tuan sebagai hakim akan dikenal sebagai contoh-contoh, di mana hukum tidak sama dengan keadilan. Hukum datang dari otak manusia, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat...."[37]
[1] Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum.
[2] Konfigurasi politik otoriter adlaah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara.
[3] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum …Op.Cit., Hlm.24-26
[4] Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Fungsi dari produk hukum ini bersifat aspiratif dan biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan hal itu pun hanya berlaku untuk hal-hal yang sifatnya teknis.
[5] Produk hukum konservatif/ortodoks /elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Pada produk hukum ini bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif. Bila dilihat dari fungsinya, maka produk hukum ini bersifat positivis-instrumentalis, artinya memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial danpolitik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah. Selain itu, produk hukum ini memberikan peluang yang luas bagi pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis.
[6] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Cetakan I, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, Hlm.251
[7] Ibid., Hlm.252
[8] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, 2003, Hlm.132-134
[9] St. Harun Pudjiarto RS., Memahami Politik Hukum di Indonesia, UU No. 3 Tahun 1971, UAJY, Yogyakarta, 1996, Hlm.31
[10] Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Cetakan Kedua, Bayumedia Publisihing, Malang, 2005, Hlm.1
[11] http:/id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, yang diakses pada tanggal 21 Agustus 2008 jam 10:57:57.
[12] Ibid.,
[13] Agus Suradika, “Relasi Korupsi dan Kekuasaan … Op.Cit.,
[14] St. Harun Pudjiarto RS., Memahami Politik… Op.Cit., Hlm.31-32
[15] Ibid., Hlm.32
[16] Ibid., Hlm.33-43
[17] Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, Hlm. 1-3
[18] Ibid., Hlm.69-71
[19]Mudzakkir, Pembaruan KUHP: Meninjau kembali Bentuk-bentuk Hukuman dalam KUHP, http://www.elsam.or.id/pdf/RKUHP2.pdf. diakses pada tangga 10 Februari 2008 jam 14:33
[20] Pramudya, Hukum Itu … Kepentingan, Sanggar Mitra Sabda, Jakarta, 2007, Hlm.1
[21] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum … Op.Cit., Hlm.7
[22] Politikus di sini ditempatkan pada kekuasaan yang sangat tinggi dibanding dengan masyarakat biasa. Kita juga dapat menyebutnya sebagai elite politik. Suzanne Keller dalam bukunya yang berjudul Penguasa dan Kelompok Elit:1995, dinyatakan mengenai istilah elit/elite yang semula berasal dari kata Latin eligere yang berarti “memilih”. Dalam pemakaian biasa kata itu berarti “bagian yang menjadi pilihan” atau “bunga” suatu bangsa, budaya, kelompok usia, dan juga orang-orang yang menduduki posisi sosial yang tinggi. Mulanya istilah itu berarti “bagian yang menjadi pilihan” atau “bunga” dari barang-barang yang ditawarkan untuk dijual dan dengan demikian menandakan objek-objek itu bernilai pilihan. Pada abad ke-18, penggunaan kata itu dalam bahasa Perancis telah meluas dengan memasukkan penjelasan baru dalam bidang-bidang lainnya. Dalam ilmu sosial, tekanan telah bergeser dari keadaan pilihan jadi terkemuka. Arti yang paling umum ialah sekelompok orang-orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Seringkali suatu lapangan khusus yang terkemuka dipilih, seperti politik. Amitai Etzioni sebagaimana dikutip juga dalam buku yang berjudul Penguasa dan Kelompok Elit, Peranan elit-penentu dalam masyarakat modern, mendefinisikan elit sebagai “kelompok aktor yang mempunyai kekuasaan”, jadi juga menekankan aspek politis dari problema itu.
[23] http:/id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, yang diakses pada tanggal 21 Agustus 2008 jam 10:57:57.
[24] Agus Suradika, “Relasi Korupsi dan ... Op.Cit.,
[25] Fakultas Hukum UII, Hukum dan Kekuasaan, Cetakan I, Fakultas Hukum, Yogyakarta, 1998, Hlm.48
[26] Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot de Studie van Het Nederlandse Recht), Cetakan Kesembilan Belas, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, Hlm.70. Dalam hal ini kekuasaan yang dimaksud adalah tentara. Raja yang mempunyai kekuasaan member perintah kepada tentara. Selanjutnya adalah kaum bangsawan, banker-bankir kaya, serta penguasa industri besar.
[27] Ibid., Hlm.70
[28] Pramudya, Hukum Itu … Op.Cit., Prawacana.
[29] Armen Yasir, Penanggulangan Korupsi Dilihat dari Perspektif Ketatanegaraan, Hlm.2
http://lemlit.unila.ac.id/file/PROSIDING_update%20terbaru%202007/Armen%20Yasir.pdf. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2008 jam 07:24
Politik hukum di sini, menurut Moh. Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia:1998 mencakup proses pembuatan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.
[30] Moh. Mahfud MD, Hukum Tak … Op.Cit., Hlm.121
[31] KPK dengan tipikornya cukup berhasil membawa dan menghukum kasus korupsi ke pengadilan, begitu juga dengan Timtastipikor. Keduanya mempunyai taring karena mereka tak tersandera, berbeda dengan kejaksaan dan kepolisian yang banyak mencatatkan penguapan kasus-kasus karena terbelenggu oleh penyakit korup yang diwarisi dari masa lalu.
[32] Lexy Armanjaya, “Merebut Kekuasaan Legislasi’, artikel pada Kompas, http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/12/00240829/merebut.kekuasaan.legislasi. diakses pada tanggal 18 Agustus 2008 15:21
[33] Semenjak dimulainya era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, dalam berbagai media diberitakan banyaknya aparat ataupun pejabat yang terkait dengan proses penegakan hukum melakukan tindak pidana korupsi. Telah disebutkan dalam TvOne tanggal 27 Agustus 2008 oleh Partai Demokrat, dari sekian ratus pejabat atau aparat yang terlibat praktek korupsi, lebih dari lima puluh telah diproses perkaranya. Aparat atau pejabat yang dimaksud mulai dari pembuat aturan legislatif, yakni para anggota DPR yang terhormat, Kejaksaan Agung, Hakim, pejabat BI dan Duta Besar Malaysia, serta masih banyak aparat atau pejabat lainnya yang terlibat dalam praktek korupsi ini.
Data yang diperoleh dari Sekretariat Negara sebagaimana yang dicatat dalam
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6520&Itemid=701, dinyatakan bahwa, sampai saat ini, perubahan kultur dan sikap anti terhadap gratifikasi di kalangan penyelenggara negara telah ada titik terang. Terbukti 50 persen dari seluruh penyelenggara negara telah melaporkan harta kekayaan mereka kepada KPK, dan dari 50 persen tersebut, kuranglebih 10 persen telah melaporkan pemberian/penerimaan hadiah kepada KPK. Sejak diberlakukannya ketentuan larangan gratifikasi pada 2001, perubahan tersebut telah ada kemajuan berarti sekalipun masih belum menyeluruh. Kegigihan KPK mengumumkan pelaporan harta kekayaan oleh penyelenggara negara berdampak positif terhadap perubahan kultur dan sikap tersebut.Keberhasilan KPK memperkarakan korupsi sebanyak 59 kasus, yang melibatkan pejabat negara, penegak hukum, dan lembaga negara serta pemimpin proyek, ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selama kurun waktu empat tahun merupakan prestasi luar biasa, sekalipun agenda prioritas pemajuan perkara sampai saat ini belum jelas dan terbuka kepada publik. Masalah pokok kinerja KPK dan Kejaksaan Agung terletak pada penguatan transparansi serta akuntabilitas kinerja kepada publik agar tidak menimbulkan mispersepsi adanya diskriminatif atau "tebang pilih
[34] Penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi di Indonesia sudah bersifat sistemik dan “membudaya”, akhir-akhir ini memperlihatkan fenomena resistensi bahkan perlawanan balik dari kalangan orang-orang yang diduga terlibat korupsi. Meskipun KPK sebagai superbody institution belakangan semakin memperlihatkan ketegasan dalam law inforcementnya terhadap korupsi, namun melalui berbagai cara koruptor atau tersangka/terdakwa korupsi terlihat semakin sistematis menyusun berbagai gerakan menghambat laju pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Sistematis, Gerakan Hambat Pemberantasan Korupsi”, Kedaulatan Rakyat, Kamis, 4 September 2008.
[35] http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6520&Itemid=701, diakses pada tanggal 14 Agustus 2008 jam 15:52
[36] Ibid.,
[37] Agus Suradika, “Relasi Korupsi dan Kekuasaan … Op.Cit.,

Sabtu, 19 April 2008

KURANGNYA KESADARAN MASYARAKAT AKAN LINGKUNGAN SEKITAR

KURANGNYA KESADARAN MASYARAKAT AKAN LINGKUNGAN SEKITAR

Berbicara tentang lingkungan hidup, tentunya tidak dapat dipisahkan dari kegiatan manusia itu sendiri. Karena baik tidaknya ataupun lestari tidaknya suatu lingkungan hidup ditentukan oleh manusia itu sendiri.

Secara prinsip, manusia merupakan sumber baku yang merupakan "titik tumpu" terjadinya pergeseran lingkungan hidup. Kondisi itu telah membawa manusia pada posisi dan peran sebagai penghasil dan pengguna usaha, jasa maupun barang olahan sumber daya lingkungan (SDL). Dalam konteks ini, sangat mungkin terjadi, selain bentuk olahan yang bermanfaat, juga diproduksi bahan-bahan yang dapat mencemari lingkungan. Bahan buangan tersebut bisa berbentuk sampah padat, cair maupun gas. Ironisnya, bahan buangan ini juga dikembalikan ke lingkungan hidup manusia itu sendiri. Adanya perubahan kondisi pada lingkungan dimungkinkan terjadi perombakan-perombakan yang membentuk, menumbuhkan, dan memperbarui lingkungan hidup manusia. Akibat perubahan itu, bisa berbentuk perubahan yang positif dan negatif. Dampak negatif dari perubahan kondisi lingkungan dapat berpengaruh pula terhadap manusia itu sendiri. Berbagai bentuk perusakan lingkungan, seperti pencemaran udara, pencemaran air, dan menurunnya kualitas lingkungan akibat bencana alam (banjir, longsor). Tentunya hal ini bisa berdampak global pada lingkungan, terutama terhadap kesehatan masyarakat.[1]

Dalam Al-Qur’an telah dikatakan dalam Surat Ar-Ruum ayat 41:

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Polusi udara akibat asap-asap kendaraan di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya dan kota-kota besar lainnya. Hal ini berdampak pada kesehatan manusia sehingga harus ada penanganannya harus cepat. Tidak hanya dari asap pabrik maupun kendaraan bermotor, asap rokok pun dapat mengganggu lingkungan sekitar.

Secara umum, terdapat 2 sumber pencemaran udara, yaitu pencemaran akibat sumber alamiah (natural sources), seperti letusan gunung berapi, dan yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-lain. Di dunia, dikenal 6 jenis zat pencemar udara utama yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), yaitu Karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen (NOx), partikulat, hidrokarbon (HC), dan oksida fotokimia, termasuk ozon.

Lingkungan hidup sebagai unsur keseimbangan ekologis dapat dikatakan bahwa manusia merupakan sumber baku nonmanusiawi. Di dalamnya terdapat manusia, berbagai tanaman, hewan, serta zat-zat lain yang membentuk tatanan yang kompleks dan faktor-faktor lingkungan, seperti curah hujan, panas, angin, dan sinar matahari. Keseluruhan unsur dan faktor lingkungan tersebut didayagunakan terus-menerus selama hidup. Interaksi antarunsur dan faktor lingkungan berlangsung tanpa henti-hentinya. Manusia yang satu dengan yang lain membentuk tatanan sendiri sebagai makhluk sosial yang pada dasarnya juga berpengaruh terhadap unsur dan faktor lingkungannya.

Berbicara masalah rokok tentu tidak terlepas dari pengaruh sosial manusianya, baik secara moral maupun etika. Mereka notabene tidak mau memahami kondisi sekitar sekalipun sudah ada aturan yang berbicara mengenai larangan merokok. Dalam kondisi apapun, sebenarnya moral membutuhkan penjelasan; orang mesti tahu, apa yang kini harus dikerjakan supaya hidup dalam lingkungan kita dapat berlangsung terus; maka misal menjelaskan arah usaha manusia.[2] Berangkat dari situlah, moral memainkan peranan yang penting agar hidup manusia menjadi lebih rasional. Namun, justru rasionalitas itu menjadi keterbatasan moral, terutama kalau moral hanya memikirkan aturan dan kurang memperhatikan, bagaimana menyapa manusia.[3] Hal yang palinig sederhana adalah dimulai dari diri kita, sadar akan bahayanya pencemaran lingkungan atau yang paling sering kita lihat adalah banyaknya orang di Indonesia yang merokok. Banyak hal yang didapat dari merokok, yakni seperti membahayakan diri sendiri mauapun yang lebih parah badalah bagi orang lain sebgai perokok pasif. Membuang puntung atau sampah sembarangan adalah salah satu hal yang paling sering kita lihat, ataupun penyalahgunaan emisi gas buang dalam kendaraan bermotor.

Hal-hal yang sering kita dengar untuk pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan adalah program Langit Biru di Jakarta, atau Green Campaign untuk mengantisipasi adanya Global Warming yang beberapa waktu lalu diselenggarakan KTT-nya.

Baik merokok, ataupun pencemaran udara melalui kendaraan bermotor maupun asap pabrik sebenarnya terkait dengan permasalahan yang akan timbul di masa yang akan datang. Di dalam prinsip hukum yang diajukan oleh Experts Group on environmental Law, yang kemudian menjadi bagian integral dari rekomendasi World Commision on Environment and Development (WCED atau Brundtland Commission) meliputi diantaranya hak dan fundamental manusia atas lingkungan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan dan sumber daya alam untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang; pelestarian keanekaragaman hayati serta pemeliharaan ekosistem dan proses ekologis yang esensial bagi berfungsinya biosfer.[4]

Pemerintah pada dasarnya telah mengeluarkan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) tentang larangan dan sanksi bagi siapa saja yang telah jelas-jelas melakukan perusakan lingkungan. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 Pasal 41 ayat 1 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan, "Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)."

Namun hal itu tidak menjadikan proses penegakan hukum hanya merupakan tanggung jawab aparat penegak hukum. Kita sebagai masyarakat dapat juga aktif menegakkan hukum, walaupun kita bukan sebagai aparat penegak hukum. Karena kita sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Penegakan hukum mempunyai makna, bagaimana hukum itu harus dilaksanakan, sehingga dalam penegakan hukum tersebut harus diperhatikan unsur-unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Kepastian hukum menghendaki bagaimana hukumnya dilaksanakan, tanpa peduli bagaimana resikonya (fiat justitia et pereat mundus:meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan)[5]. Apapun bunyi hukumnya itulah yang harus dilaksanakan. Karena hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat kepada masyarakat.



[1] Budi Imansyah, Artikel: Membangun Masyarakat yang Berwawasan Lingkungan, www.google.search.com , 27 Februari 2006

[2] Bernhard Kieser SJ, Agama dan Proses Pengembangan Moral, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan UNISIA: Menuju Masyarakat Etik, No.35/XX/III/1997, Hlm.50

[3] Ibid.,

[4] Koesnadi Hardjasoemantri, Pokok-Pokok Pemikiran Hukum Lingkungan dan Implementasinya terhadap Keseimbangan Ekosistem Indonesia, dalam Kumpulan Tulisan Hukum dan Bencana Alam di Indonesia, Hasil Kerjasama UII dengan JICA-Kedubes Jepang di Jakarta, 2002, Hlm.118

[5] R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal 65

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENEGAKAN HUKUM DITINJAU DARI HUKUM PROGRESIF

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENEGAKAN HUKUM DITINJAU DARI HUKUM PROGRESIF



I. PENDAHULUAN

Indonesia yang memiliki UUD 1945 sebagai hierarki perundang-undangan yang tertinggi seharusnya dijadikan pedoman bagi pelaksanaan penegakan hokum, baik oleh legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Selain itu kita sebagai masyarakat Indonesia tidak menganggap bahwa UUD 1945 yang telah melalui empat kali amandemen, hanya sebagai sebuah aturan yang berfungsi sebgaai hafalan saja ketika kita menginjak di bangku pendidikan. Begitu juga aparat penegak hokum, dalam menerapkan wewenangnya, juga harus memperhatikan apa yang telah tertuang dalam UUD 1945.

Dalam UUD 1945 diterangkan bahwa Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hokum (rechstaat) dan Negara Indonesia berdasarkan atas hokum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat)[1]. Hal ini berarti bahwa Negara Indonesia menjunjung tinggi hokum bukan menjunjung tinggi kekuasaan, dimana dalam menerapkan hokum, Indonesia harus memandang semua subjek hokum adalah sama, tidak memandang itu pejabat, orang terkenal atau orang minoritas yang termarginalkan.

Dalam era pembangunan di Indonesia saat ini, terjadi sebuah tindak pidana yang dianggap sebagai sebuah penyakit yang telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Tidak hanya di kalangan pejabat saja tetapi juga kalangan masyarakat biasa bahkan aparat penegak hukumnya. Hal ini adalah masalah korupsi yang cukup fenomenal di tengah pembangunan Indonesia yang tengah terpuruk dalam pembangunan dewasa ini. Tndak pidana ini dianggap tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga merugikan dan meresahkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang telah tertuang dalam Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, korupsi tidak mencerminkan apa yang terkandung secara luhur dalam sila kelima Pancasila tersebut.

Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak ditemui tindakan-tindakan yang merupakan sebuah tindak pidana korupsi, seperti ketika kita melanggar lalu lintas dengan dalih sidang di tempat, kita membayar sejumlah uang kepada aparat, atau ketika kita akan membuat SIM atau KTP, kita membayar lebih kepada aparat dengan dalih pembuatannya dapat menjadi cepat. Kedua hal itu merupakan contoh kecil yang berkembang di masyarakat. Hal yang terjadi dalam pemerintah seperti korupsi yang dilakukan Akbar Tanjung, Probo Soetedjo, dan lain-lain.

Tindak pidana korupsi terlihat seperti sebuah kejahatan yang bersifat seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, dimana tidak hanya dilakukan oleh kalangan atas, tetapi juga kalangan bawah. Tidak hanya dalam ursan pemerintahan, keuangan Negara, hak asasi, ideologi, perekonomian, maupun moral bangsa. Dengan adanya bahaya seperti itu, diharapkan penegak hokum dapat menjalankan wewenangnya sebagaimana mestinya tidak hanya melihat dari kekuasaan sang pelaku tetapi juga dapat menjadikan hokum itu sebagai sebuah efek penjeraan bagi pelaku yang melakukan secara dolus ataupun culpa. Mengingat tindak pidana korupsi ini sudah terlalu canggih dalam menyembunyikan hasil kekayaannya. Sementara dalam penegakannya terlihat bahwa sebuah tindak pidana korupsi menyatakan bahwa tidak sedikit pelaku yang divonis bebas, akan tetapi juga menerima hukuman yang sangat ringan. Padahal hal ini tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.

Oleh karena itu peran serta masarakat dan perhatian yang serius dari pemerintah melalui kebijakan politiknya sangat diperlukan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Serta dalam menegakkan hukumnya kita harus memandang hokum tidak hanya berdasarkan pada rule tetapi juga behavior[2].

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dewasa ini?

2. Bagaimana pandangan hukum progresif dalam menyikapi tindak pidana korupsi di Indonesia dewasa ini?

III. ANALISIS

A. PENEGAKAN HUKUM

Sejak lahirnya Undang-Undang No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diundangkannya undang-undang pengganti yakni Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 pada tanggal 29 Maret 1971. Baik pada waktu berlakunya kedua Undang-Undang tersebut, dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut aparat pnegak hukumnya, kedua Undang-Undang tersebut tidak sempurna, tidak sesuai dengan perkembangan zaman lagi, padahal Undang-Undang seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi. Namun dalam membuat sebuah peraturan perundang-undangan, lagi-lagi diadakan sebuah tindak pidana korupsi di tingkat legislative, baik dari segi waktu maupun keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh ketika mereka melakukan rapat. Dan apa yanh dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja tidak melindungi kaum masyarakat. Dengan dalih Undang-Undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, kenapa tidak dibuat sebuah peraturan yang efektif dan bertindak secara tegas dalam memberantas tindak pidana korupsi? Bukan hanya sekedar duduk-duduk saja dalam parlemen tetapi berpikir bagaimana penegakan hokum atas peraturan perundang-undangan yang akan diberlakukan atas tindak pidan korupsi.

Menyikapi hal seperti itu dalam tahun 1999 yang lalu diundangkanlah undang-undang yang dianggap lebih baik, yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Kemudian pada tanggal 27 Desember 2002 telah dikeluarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni sebuah lembaganegara indipenden yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia[3].

Hal ini berarti dengan dikeluarkannya udang-undang yang dianggap lebih sempurna, maka diharapkan aparat penegak hukumnyapun juga sempurna. Akan tetapi yang terjadi adalah budaya suap yang telah menggerogoti kinerja aparat penegak hokum dalam melakukan penegakn hokum sebagai pelaksana dai produk hokum di Indonesia. Bagaiamana bisa secara tegas dianggap sebagai hal yang sempurna sementara yang terjadi adalah ketidaksesuaian antara aparat penegak hokum dengan produk hokum yang mengatur sebuah tindak pidana korupsi. Karena hal ini dilakukan sebagai kekuatan politik yang melindungi pejabat-pejabat Negara. Sejak dikeluakannya Undang-Undang Tahun 1960 gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggar Negara terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan penegakan hokum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan[4].

Dengan hal yang demikian, berarti telah terjadi feodalisme hokum secara sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak sekali penegak hokum dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat tinggi yang korup. Dalam domein logos, pejabat tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada domein teknologos, hokum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti[5].

Sementara menurut pendapat Klitgaar, Hamzah, Lopa, BPKP, World Bank, menyatakan bahwa penyebab korupsi adalah sebagai berikut[6]. Deskresi pegawai publik yang terlalu besar, rendahnya akuntabilitas public, lemahnya kepemimpinan, gaji pegawai yang di bawah kebutuhan hidup, kemiskinan, moral rendah, atau disiplin rendah, konsumtif, pengawasan dalam organisasi rendah, atasan memberi contoh, kesempatan yang tersedia, pengawasan ekstern lemah, lembaga legislatif lemah, budaya memberi upeti, permisif, tidak mau tahu, keserakahan, lemahnnya penegakan hokum, probabilitas ditangkap dan dihukum, konsekuensi biaya akibat ditangkap dan dihukum lebih rendah dari keuntungan yang diperoleh, orang ang di tempat “basah” mesti menghidupi pegawai di atasnya atau di bawahnya, korupsi untuk cost of recovery, lingkungan tidak kondusif, para pegawai mesti menjadi sumber dana organisasi, kondisi masyarakat yang lemah tidak terorganisasi untuk melawan korupsi.

Dari berbagai hal itulah dapat kita lihat secara jelas, bahwa penegakan hokum dalam memberantas tindak pidana korupsi tidak hanya didasarkan atas ketidaksempurnaan atas Undang-Undang atau produk hokum yang lain, tetapi juga moral dari pelaku, kinerja aparat penegak hokum, maupun budaya yang telah mengakar daging sejak zaman feudal. Dengn ini berarti bahwa Indonesia tidak lagi dijajah oleh pihak asing tetapi oleh bangsanya sendiri yang sudah tidak menjunjung tinggi kepribadian bangsa tetapi bergelut dengan kehidupan yang seharusnya tidak digunakan untuk memperkaya diri sendir tetapi juga harus melihat kondisi sosial di sekitarnya.

B. HUKUM PROGRESIF BERBICARA

Seperti yang telah kita tahu beberapa waktu ini, telah muncul isu tentang HUKUM PROGRESIF yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. Dengan hokum progresif sebagaimana hasil wawancara[7] dengan beliau, yang mengatakan bahwa hokum pogresif lahir akibat dari banyaknya kritikan terhadap kinerja aparat hokum yang sudah tidak lagi mencerminkan sesuai dengan fungsinya. Karena hokum dibuat bukan hanya sebagai ruke tetapi sebagai behavior. Sehingga hokum dibuat dan dilaksanakan dengan melibatkan factor manusia. Yang harus diperhatikan di sini adalah sebuah sikap akan empati, kepedulian, kejujuran maupun keberanian atas penegakan hokum yang ada. Sikap ini lahir dari sebuah pernyataan seorang Jaksa Agung yang menyatakan bahwa penegakan hokum tidak membutuhkn keberanian. Hal ini cenderung salah dan megakibatkan lemahnya penegakan hokum di Indonesia. Membaca sebuah peraturan itu dicari maknanya bukan mengeja perkata. Hukum itu dibuat untuk manusia bukan yang sebaliknya, karena hokum diciptakan untuk mengatur tingkah laku manusia agar tercipta keadilan sebagaimana sesuai deng tujuan huku itu sendiri. Sedangkan dalam kepastian hokum yang mana menjadi panduan utama bagi lairan hokum positivisme, juga sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Karena tidak ada kepastian hokum yang absolut. Dan hal ini disebabkan sebagai terjadi ketidakmengertian tentang kepastian hokum itu.

Sementara itu, dalam memberantas sebuah tindak pidana korupsi, diharuskan bersikap dan berpikir yang luar biasa. Karena dengan adanya perubahan tersebut, tidak hanya bagi aparat penegak hokum, pelaku, maupun legislatif, dapat menekan adanya tindak pidana korupsi. Semntara komunitas hokum manapun adalah komunitas yang anti-perubahan. Sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno bahwa kita tidak bisa berevolusi bersama para ahli hokum (met juristen kan men geen revolutie maken[8]. Selain itu para aparat penegak hokum masih berpikir dan bertindak secara klasik, bersikap submisif terhadap hokum positif bahkan tidak berani untuk bertindak rule breaking. Dari sinilah dapat diketahui bahwa tidak hanya aturan-aturan saja yang sempurna dalam penegakan hokum korupsi, akan tetapi juga aparat penegak hukumnya. Yang mana para aparat penegak hokum korupsi tersebut dilahirkan dari fakultas-fakultas hokum, yang seharusnya berpikir bahwa hokum dibuat untuk ditegakkan bukan untuk disimpangi demi tercapinya sebuah keadilan yang tidak hanya melindungi kaum minoritas penguasa, juga melindungi seluruh kepentingan.

Pada sebuah harian surat kabar Kedaulatan Rakyat, tertuang sebuah analisis dariAchiel Suyanto, Enaknya Koruptor di Negeri in[9]i. Menyebutkan bahwa sevagaimana yang dikemukakan oleh Ketua Tim Pembuatan draft RUU Tindak Pidana Korupsi, mengusulkan jika tim ini akan menghapus ancaman hukuman mati mnjadi hukuman seumur hidup dan 20 tahun pnjara bagi para koruptor (penilep uang Negara). Dengan alasan bahwa hukuman mati maupun seumur hidup memiliki efek yang sama beratnya, dan tidak ada orang yang mau dihukum mati. Padahal sejarah membuktikan bahwa tidak ada koruptor yang dihukum mati. Dari sini terjadi indikasi bahwa penegakan hokum dalam memberantas korupsi mengalami kegagalan. Tidak terjadi sebuah fek penjeraan bagi pelaku yang jelas-jelas mrugikan keuangan Negara. Selain itu terjadi perubahan bahwa tidak akan ada penjatuhan pidana secara khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Dalam SKH yang sama terdapat pemberitaan bahwa Advokat Senior Dilaporkan ke KPK[10] karena dinilai hambat pemberantasan korupsi DPT Ketua DPRD Kota Yogyakarta yang telah divonis 4 tahun dan denda Rp. 200 juta rupiah. Karena dalam kasus tersebut, advokat dari Ketua DPRD Kota Yogyakarta tersebut berargumen bahwa lingkup hokum terebut bukan merupakan pidana namun administrasi, serta mengkriminalkan seorang anggota dewan, berarti sama dengan menjatuhkan sebuah politik. Dari sini kita juga bisa melihat bahwa seorang advokat yang seharusnya membantu kliennya untuk mengerti akan permasalahan hokum yang dihadapi yang terjadi adalah bahwa sang advokat membuat agar kliennya memiliki rasa ketergantungan terhadap advokat tersebut. Selain itu dinilai bahawa seorang yang lahir dari Fakultas Hukum hanya memikirkan kepentingan golongan bukan mementingkan kepentingan yang bersifat sosial. Yang mana kepentingan tersebut lebih utama daripada golongan. Lagi-lagi dalam korupsi yang jelas-jelas merugikan keuangan Negara yang pada awalnya digunakan untu keadilan sosial.

Dalam sikap hokum progresif juga dikenal dengan adanya istilah orde hokum antikorupsi[11]. Sekalipun ada Undang-Undang Tipikor maupun KPK, tidak dapat memberantas tindak pidana korupsi, karena memerangi korupsi diharapkan memberi sumbangan terhadap pemberantasan korupsi dengan menyentuh titik strategis. Karena Undang-Undang yang selama ini kita ketahui, dapat dimasukkan perbuatan yang mengancam dan mencederai jesejahteraan rakyat (bedreiging en aantasting van het welzijn van de bevolking)[12]. Mengacu prognosis korupsi yang dikemukakan Syed Hussein Alatas (1968)[13] penyakit korupsi melalui tiga tahap: (1) terbatas, (2) meluas, (3)menghancurkan masyarakat di mana para koruptor ada di dalamnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi yang meluas dikatakan sebaga extra-ordinary crime. Sementara yang kita butuhkan saat ini adalah munculnya seorang yang mampu mencerminkan hokum yang progresif yang dapat mengatasi kegagalan pemberantasan tindak pidana korupsi.

IV. PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Bahwa kegagalan akan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya didasarkan atas ketidaksempurnaan Undang-Undang yang dibuat akan tetapi juga ketidaksempurnaan akan aparat penegak hukumnya, masyarakat, serta lembaga legislatif yang meracang penyusunan Undang-Undang tersebut. Sementara Undang-Undang yang ada tidak dijalankan secara maksimal karena adanya budaya yang masih mencerminkan budaya feudal, yang mana hanya melindungi kepentingan minoritas penguasa saja.

2. Bahwa kita harus berpikir maju atau secara progresif yang mana dalam melakukan penegakan hokum, tidak hanya didasarkan atas rule saja tetapi juga didasarkan atas behavior manusianya. Dan dari situlah maka penegakan hokum dapat ditegakkan. Tidak hanya bersandar pada aliran posivisme yang kita anut dalam Negara kita.

B. SARAN

1. Setidaknya ada pembenahan bagi aparat penegak hokum dengan mningkatkan mutu dan kualitas mereka, serta mampu berdisiplin dan juga didukung oleh gaji yang memadai kebutuhan hidup.

2. Meningkatkan peran manusia yang sesuai dengan perannya masing-masing. Terutam bagi para penegak hokum. Dengan memperhatikan empati, kepedulian, kejujuran dan keberanian. Karena hokum dibuat untuk manusia agar tercapai nilai-nilai keadilan.

3. Terdapat kurikulum dalam institusi perkuliahan bahwa kecenderungan kita dalam mengikuti perkuliahan hanya diajarkan bagaimana undang-undang itu ada dan dilaksanakan tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya. Di samping itu mendidik agar para sarjana hokum bersikap berani dalam menentukan sikap agar tercapai keaddilan bukan menghancurkan keadilan.

V. DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Matriil dan Formil Korupsi di Indonesia,

Bayumedia, Malang, 2005

Hartanti, Evi,Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

Rahardjo, Satjipto,Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006

SKH Kedaulatan Rakyat, Enaknya Koruptor di Negeri Ini, Kamis 22 Februari 2007

UUD 1945

Wawancara Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Jumat 16 Februari 2007, tentang Hukum

Progresif



[1] UUD 1945

[2] Wawancara Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Jumat 16 Februari 2007, tentang Hukum Progresif

[3] Drs Adami Chazawi, SH, Hukum Pidana Matriil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia, Malang, 2005, hal.8

[4] Ibid., hal.9

[5] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.3

[6] Ibid., hal 21

[7] Wawancara Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Jumat 16 Februari 2007, tentang Hukum Progresif

[8] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006, hal.129

[9] SKH Kedaulatan Rakyat, Enaknya Koruptor di Negeri Ini, Kamis 22 Februari 2007, hal.1

[10] Ibid.,

[11] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, op.cit, hal.135

[12] Ibid., hal 138

[13] Ibid., hal.141