Kamis, 31 Januari 2008

Hukum Itu Dihuni Orang Biadab

SUDAH SIAPKAH PENDIDIKAN HUKUM KITA?
Untuk seorang pribadi manusia, kesederhanaan dan kewajaran merupakan hal jadi anjuran. Kekerasan haarus dijauhi, seperti juga halnya bergulat untuk uang dan prestise. Orang tidak boleh bernafsu merubah dunia, melainkan harus menghormatinya. Bagi pemerintahan, langkah yang dianggap bijak adalah berbuat tidak begitu aktif, banyak yang mengatur ini melarang itu. Apalagi, aturan dan batasan sudah kelewat banyak. Karena itu menambah lagi mengakibatkan keadaan tambah buruk. Rencana-rencana pemerintah yang terlalu ambisius, hanya dapat menjadikan sebuah mimpi bagi rakyat. Dimana rencana-rencana tersebut selalu mementingkan kepentingan penguasa yang mengatasnamakan kehendak rakyat.
Sebuah kebijakan publik yang nantinya menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan, seharusnya telah meliputi seluruh kepentingan rakyat. Akan tetapi, sebuah kebijakan publik dari segala aspek kehidupan bangsa ini, mulai dari bidang pembangunan hingga bidang pendidikan, sangat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Tidak hanya, peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintah, tetapi juga peraturan perundang-undangan yang mengatur kepentingan rakyat.
Keprogresifan Pendidikan Hukum di Indonesia
Hampir seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ada yang memiliki prinsip bahawa hukum dibuat sebagai alat pencegah adanya suatu peristiwa hukum. Bahkan ketika peraturan perundang-undangan yang dibuat sudah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang ideal, namun hal ini tidak diikuti dengan tingkah laku para aparat penegak hukumnya. Dalam hal ini tidak hanya dari kepolisian, tetapi juga dari kejaksaan maupun kehakiman. Sungguh memalukan ketika hal ini bermula dari para lulusan sarjana hukum. Bagaimana tidak, sebuah sistem pendidikan di Indonesia mulai dari tingkat dasar hingga perkuliahan, tidak banyak yang memikirkan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Ijazah kelulusan merupakan suatu hal yang menjadi obyek pencarian bagi pelaku pendidikan. Padahal sesungguhnya, belum tentu seseorang yang memiliki nilai tinggi dapat melakukan hal yang berguna bagi masyarakat dengan baik. Kita harus melihat dari segi IQ, EQ, dan SQ. Belum lagi dengan kualitas nama institusi tersebut, bukan kualitas pandidikan yang diberikan kepada peserta pendidikan.
Banyak mahasiswa hukum yang harus dianjurkan untuk menghafal pasal demi pasal oleh dosennya. Selain itu, dosen yang menilai ujian yang mengharuskan jawaban sesuai dengan apa yang tertuang di buku juga menjadi sebuah momok. Apakah sistem pendidikan yang seperti ini, dapat menunjang kesuksesan mahasiswa? Mahasiswa yang nantinya lulus sebagai seorang sarjana hukum, diwajibkan untuk siap menghadapi berbagai gejala sosial yang telah ada, bukan menghafal pasal. Belum tentu pula, mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi dalam sistem yang demikian itu, bisa siap menghadapi gejala sosial yang terjadi, dikarenakan sikap individual yang tinggi hanya dengan tujuan memperoleh nilai yang sangat maksimal.
Sikap individual inilah yang menyebabkan jatuhnya sistem hukum, terutama yang menyangkut kepentingan publik di Indonesia. Yang mana kehendak rakyat tidak tertampung dalam kebijakan publik, yang ada adalah kehendak penguasa. Semoga hal ini menjadi sebuah pertimbangan dan pembenahan kurikulum bagi Fakultas-Fakultas Hukum di Indonesia, terutama Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yang menjalankan suatu sistem pendidikan yang berlandaskan ke-Islaman.
Air yang lembutnya tak terbatas, yang mengalir tanpa protes menuju daratan rendah dan yang tak melawan kekuatan selemah apapun, tak terhancurkan, tapi karang yang sekokoh apapun bisa luluh pada akhirnya.( filosof Lao Tse).

Tidak ada komentar: